April 15, 2010

Tragedi Tanjung Priuk (14/04/2010)

Bentrokan itu seakan terus bersambungan karena masing-masing pihak sudah emosi, sampai akhirnya benturan itu bisa diredakan dan diendapkan.

Pertanyaannya: siapa yang harus bertanggung jawab atas insiden brutal ini? Apakah pimpinan Satpol PP, gubernur DKI, atau Walikota Jakarta Utara, atau siapa lagi? Komnas HAM dan aparat penegak hukum mungkin bisa menjawabnya.

Benturan fisik itu menimbulkan korban jiwa dan kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Kerugian itu juga akibat terhambatnya arus lalu lintas barang ekspor dan impor ke pelabuhan untuk diperdagangkan di kawasan pabean Indonesia.

Mengenaskan memang, sebab bentrokan itu mengakibatkan dua orang tewas, sekitar 130 orang luka-luka, dan puluhan mobil dibakar. Pukul 23.55, di depan RSUD Koja, tiga mobil bak terbuka patroli satpol PP dibakar massa. Satu mobil lain di depan Instalasi Gawat Darurat dirusak dan pagar RSUD dijebol.

Menghadapi situasi kelam ini, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengendapkan kemarahan itu, sudah tepat. Dalam keterangan pers di depan Kantor Presiden, Rabu tengah malam, SBY menyatakan prihatin dan menyayangkan terjadinya benturan fisik sehingga menimbulkan korban baik pada pihak Satpol PP, Polri, maupun warga masyarakat.

Presiden sudah meminta agar status lokasi terjadinya bentrokan itu tetap status quo, dan meminta agar pintu negosiasi dengan pihak-pihak terkait dibuka kembali. Presiden juga meminta kepada Gubernur DKI Fauzi Bowo melakukan pendekatan sosial. Dan, kepada Polri, presiden meminta agar mencegah terjadinya insiden baru yang bisa membuka peluang dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain.

Saat ini Pemprov tidak berniat menggusur makam, kecuali bangunan pendopo yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Bahkan makam Mbah Priuk justru akan dipercantik. Pelindo juga sudah menyetujui pemberian uang kerohiman Rp2,5 miliar bagi ahli waris dan tanah 5.000 meter persegi bagi kepentingan masjid.

Tapi itu semua tidaklah cukup. Harus ada solusi ekonomi dan sosial atas tragedi Priok tersebut. Pada satu sisi, ganti rugi bagi keluarga ahli waris yang mengklaim memiliki tanah lima hektar di kawasan itu, harus diselesaikan bersama Pelindo atau pemerintah.

Kita berharap ada win-win solution antara kedua pihak yang bersengketa. Pada sisi lain, makam Mbah Priok sebagai cagar budaya, harus dipertahankan untuk menjaga basis tradisi yang sudah lama berlangsung.

Solusi itu tidaklah mudah, namun juga tidak sulit. Jika masing-masing pihak bisa berdamai dan bermusyawarah dengan bijak, tragedi Priok itu tidak perlu berulang di masa datang, di mana sumber daya ekonomi dan kultural mungkin semakin langka.

Itulah pelajaran dan hikmah atas benturan fisik antara sat pol PP dan warga pada Rabu kelabu kemarin, yang mengharu-biru ibukota dan mencederai nurani bangsa ini

0 Komentar:

 

Vania Ika Aldida Copyright © 2011 by Vania Ika Aldida